Laman

Selamat datang di blog Kafilah Ar-Rahmat. Ahlan wa sahlan. Mugo-mugo manfaat yoooo...

Menjawab Ahmadiyah


Oleh: Agus Efendi, M.Ag[1]
Pendahuluan
Maoyritas umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam hingga sekarang beri’tikad [berkeyakinan] bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir. Sesudah beliau tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul yang baru, karena dengan meninggalnya beliau berarti terputuslah kenabian. I’tikad ini di dasarkan kepada keterangan-keterangan yang bersumber dari kitab suci al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang shahih.
Hanya saja ada segolongan kecil di antaranya seperti Ahmadiyah [Qodiani] yang ber’itikad bahwa pintu kenabian masih terbuka, dengan kata lain setelah meninggalnya Nabi Muhammad masih akan datang lagi nabi-nabi yang lain.
Untuk memperkuat I’tikad itu  merekapun membawakan beberapa ayat suci al Qur’an dan beberapa hadits Nabi yang mereka anggap sebagai hujjah. Padahal sebenarnya tidak ada satupun ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi shahih yang menerangkan akan adanya Nabi baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad.
Melalui tulisan ini kami berharap dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya untuk membentengi diri dari aqidah yang sesat dan menyesatkan.



Definisi Nabi dan Rasul
Syamsudin Muhammad al Mahally, dalam Syarah ‘Ala Matni Jami’I al Jawami’, memberikan ta’rif [definisi] sebagai berikut;
أن النبي: هو من أوحي إليه بشرع وان لم يؤمر بتبليغه ، وان أمر بتبليغه فرسول – حشية البناني 1/13-
]والرسول: هو من أوحي إليه بشرع وأمر بتبليغه فكل رسول يعتبر نبيا [
“Nabi adalah manusia yang di beri wahyu dengan syariat walaupun tidak di perintahkan untuk menyampaikannya,apabila ia di perintah untuk menyampaikannya ia adalah Rasul”.
 لكن هذا التفريق قد جاء في بعض الأدلَّة ما يدلُّ على عدم صحَّته فيُمكن أن يُقال في الفرق بين الرسول والنَّبيِّ: إنَّ الرَّسولَ مَن أُوحي إليه بشرع وأُنزل عليه كتاب، والنَّبيَّ هو الذي أُوحي إليه بأن يُبلِّغ رسالةً سابقة، وهذا هو المتَّفق مع الأدلَّة[2]
أن الفرق بين الرسول والنبي أن الرسول: هو الذي تنزل عليه شريعة ابتداءً ويحكم بها، وأما الأنبياء فإنهم يؤمرون بأن يحكموا بشرائع سابقة ولم ينزل عليهم كتاب، كأنبياء بني إسرائيل من بعد موسى الذين أمروا بأن يحكموا بالتوراة وهي لم تنزل عليهم, فإذاً: النبي هو الذي أمر بأن يحكم بشريعة سابقة والرسول هو الذي أنزل عليه شرع ابتداءً.[3]
Dalil-dalil  Tertutupnya Kenabian
Banyak sekali bermunculan orang yang mengaku menjadi Nabi sepeninggal beliau, tidak terkecuali Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim dirinya sebagai Nabi dan di yakini pula oleh para pengikutnya dari kalangan warga Jemaat Ahmadiyah. Berikut ini adalah beberapa dalil tentang telah tertupnya keNabian sepninggal Rasulullah shallallu’alaihiwasallam.
1.                  Sabda Nabi dari Anas bin Malik:
إن الرسالة و النبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي و لا نبي
“sesungguhnya kerasulan dan keNabian telah terputus, maka tidak ada Rasul setelah saya dan tidak ada keNabian…”.[4]
Karenanya telah jelas, tidak akan ada lagi orang yang di angkat menjadi Nabi dan Rasul, seeninggal beliau.
2.                  Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كَلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي،
“Adalah Bani Israil di perintah oleh Nabi-Nabi, setiap wafat seorang Nabi, lantas di ganti oleh Nabi yang lain, hanya saja  tidak ada Nabi sesudahku”[5]
Sekalipun pada kaum Bani Israil selalu bermunculan para Nabi sebagai pengganti Nabi sebelumnya, namun tidak ada lagi pengganti Nabi Muhammad Shallallhu’alaihi wasallam.
3.                  Dari Mush’ab bin Sa’ad dari bapaknya, bahwa tatkala Rasulullah berangkat menuju [perang] Tabuk dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti [di Madinah], kamudian Ali berkata;’Apakah engkau meninggalkanku di tengah anak-anak dan para wanita?’  bersabda:
 أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى غَيْرَ أَنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
“Apakah kamu tidak suka [wahai Ali] kedudukanmu di sampingku seperti kedudukan Harun di samping Musa, hanya saja tidak ada Nabi sesudahku”.[6]
Nabi menjelaskan kedudukan Ali di sisi Nabi, namun beliau menegaskan bahwa kesamaannya dengan Nabi Harun bukanlah dalam keNabian, karena sepeninggal Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam tidak aka nada orang yang menerima pangkat keNabian.
4.                  Dari Ubbah bin Amr, bahwa Nabi Shallallhuh’alaihi wasallam bersabda:
لو كانَ بعدي نبيّ لكانَ عمرَ بن الخطاب
“jika ada Nabi setelah-ku, tentu [yang jadi Nabi] adalah Umar bin Khathab”.[7]
Kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah sepeninggal Rasulullah Shallallhuh’alaihi wasallam, Umar bin khathab tidak menjadi Nabi.
5.                  Dari Muhammad bin Jubair bin Mut’im dari Bapaknya, ia mendengar Nabi bersabda:
أن لي خمسة أسماء : أنا محمد و أنا أحمد و أنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفار و أنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي و أنا العاقب و العاقب ليس بعده نبي
“Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya al Mahi yang menghaus kekafiran, saya al Hasyir yang mengumpulkan manusia di telaak kakiku dan saya al ‘aqib yang tidak ada Nabi setelah saya”[8]
Bentuk muanats dari عاقب adalah عاقبة yang di sebut sebanyak 32 kali dalam al Qur’an yang kesemuanya memunyai arti “kesudahan” atau “akhir”, seperti di antaranya:
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ [الأعراف/84]
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.
6.                  Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
فَإِنِّي آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ مَسْجِدِي آخِرُ الْمَسَاجِدِ
“Sesunguhnya saya adalah Nabi yang paling akhir, dan sesungguhnya masjidku adalah yang paling akhir dari sekalian masjid [yang didirikan].[9]
Maksud dari hadits tersebut adalah bahwa:
-                      Muhammad adalah Nabi yang terahir sehingga setelah beliau tidak ada lagi Nabi yang baru.
-                     Masjid beliau [masjid Nabawi] adalah masjid terakhir yang di bangun oleh seorang Nabi, sehingga setelahnya tidak ada lagi masjid yang di bangun oleh seorang Nabi.

7.                  Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda

فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ : أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ ، وَأُحِلَّتْ لِىَ الْغَنَائِمُ ، وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا ، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً ، وَخُتِمَ بِىَ النَّبِيُّونَ
“Aku di lebihkan di atas Nabi-Nabi yang lain dengan enam perkara: aku di beri beberapa kumpulan kalimat [syariat yang sempurna], aku di tolong dengan rasa takut [kedalam hati orang-orang kafir], di halalkan bagiku harta rampasan [perang], bumi ini di jadikan bagiku sebagai tempat suci dan masjid, aku di utus kepada seluruh manusia, dan di sudahi/di tutup denganku Nabi-Nabi”.[10]
8.                  Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلُ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ، وَيَعْجَبُونَ لَهُ، وَيَقُولُونَ: هَلاَّ وُضِعَتْ هذِهِ اللَّبِنَةُ فَأَنَا اللَّبِنَةُ، وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ   

“Perumpamaan saya dengan Nabi-Nabi sebelum saya seperti seorang laki-laki yang membuat rumah. Bagus dan cantk sekali rumah itu di buatnya, tetapi ada kekurang sebuah batu bata dalam sudut dari rumah itu, orang-orang yang melihat rumah itu kagum melihat keindahannya, tatapi mereka bertanya,’kenapa batu bata yang satu itu belum terpasang? Rasulullah bersabda,’Sayalah batu yang satu yang kurang itu dan saya adalah anutup Nabi-Nabi”.[11] 
9.                  Dari Tsauban, Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya akan ada dari umatku tiga puluh orang pembohong, mereka mengaku dirinya adalah Nabi dan sesungguhnya saya adalah penutup Nabi-Nabi dan tidak ada lagi Nabi setelahku”.[12]
Ini merupakan kemu’jizatan Nabi, yang di antaranya adalah mengetahui [dengan pemberitahuan Allah] suatu perkara yang akan datang, dan hal tersebut telah menjadi kenyataan. Satau persatu bermunculanlah orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, seperti Musailamah al Kadz-dzab, Aswad al Ansi, Mukhtar bin Abi Ubaid [Tsaqif], Mirza Ghulam Ahmad dan seterusnya.
Hadits-hadits yang menjelaskan akan datangnya Nabi palsu [gadungan] juga di riwayatkan oleh ulama-ulama ahli hadits lainnya, di antaranya:
a.                   Imam Bukhori dalam Shahihnya 4/121.
b.                   Imam Abu Dawud dalam Sunannya 4/121.
c.                   Imam Thabrani dalam Mu’jAm Kabirnya 3/188.
d.                  Imam Ahmad dalam Musnadnya 5/396.
10.              Firman Allah dalam QS Al Ahzab: 41
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kam., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi”.
Dalam menjelaskan perkataan [خاتم النبيين ], Ibnu Abbas ra menjelaskan:
ختم الله به النبيين قبله فلا يكون نبي بعده
“Dengan Nabi Muhammad, Allah telah menutup para Nabi sebelumnya, maka tidak aka nada Nabi baru sesudahnya”[13]
Dengan demikian maka jelaslah bahwa pintu-pintu keNabian telah tertutup, sehingga setiap yang beranggappan bahwa pintu keNabian setelah meninggalnya Rasulullah Shallallhuh’alaihi wasallam masih terbuka berarti ia telah menentang firman Allah dan Sabda Rasul-Nya.
Karena itulah Rabithah Alam Islami, Majlis Ulama Indonesia [MUI], dan organisasi-organisasi Islam di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama’ [NU], Muhammadiyah, Persatuan Islam [Persis], Persatuan Tarbiyah Indonesia [Perti], Persatuan Umat Islam [PUI] dan organisasi Islam lainnya telah menyatakan bahwa Ajaran Ahmadiyah [Qadian] sudah keluar dari Akidah Islamiyah.
Sekalipun demikian, namun orang-orang yang inkar [Jemaat Ahmadiyah], tetap tidak akan berguna berbagai macam hujjah ketika di tegakkan atas mereka, sebagaimana penyeir Arab:
المنكر لا يفيده التطويل ولو تليت عليه التوراة والانجيل
“Orang yang inkar tidak akan berguna baginya [hujjah] panjang lebar, walau di bacakan kepadanya kitab Taurat dan kitab Injil”
Beberapa syubhat dan bantahannya
1.                  Kutipan hadits Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َقَالَ إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ketika Ibrahim putra Rasulullah wafat, Beliau bersabda ‘Sesungguhnya di surga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang ia akan menjadi seorang Nabi yang benar”.[14]
Menurut Ahmadiyah seandainya maksud “khatamun Nabiyin” adalah sebagai penutup para Nabi atau Nabi terakhir dan tidak ada lagi Nabi sesudahnya, tentunya beliau tidak akan mengatakan demikian, Jika usianya panjang ia akan menjadi Nabi yang benar”.[15] Sehingga menurut mereka pintu-pintu masih terbuka sepeninggal Muhammad shallallahu’alaihiwasallam.
Para Ahli hadits memberikan komentar tentang hadits tersebut:
1.                  Pernyataan Nabi itu hanya sebagai [مبالغة في التفضيل  ] yaitu ungkapan yang menyangatkan kemuliaan Ibrahim saja, sebagaimana perkataan beliau keppada Umar bin Khathab, “Kalu ada Nabi sesudahku tentu yang akan jadi Nabi adalah Umar bin Khathab”, bukan menunjukkan adanya Nabi lagi sepeninggal beliau, sebagaimana Umar-pun tidak menjadi Nabi,  di karenakan keumuman hadits:
 إن الرسالة و النبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي و لا نبي
Dalam riwayat Ibnu Majah, juga di sebutkan riwayat yang berbunyi:
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَأَيْتَ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَاتَ وَهُوَ صَغِيرٌ وَلَوْ قُضِيَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيٌّ لَعَاشَ ابْنُهُ وَلَكِنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
“Telah bercerita kepada kami Ismail bin al Khalid, ia berkata,’Aku bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa, ’Apakah engkau pernah melihat Ibrahim putra Rasulullah?’, Abdullah bin Abi Aufa menjawab ”ia wafat pada waktu masih kecil, kalau di taqdirkan ada lagi Nabi Setelah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam tentulah putra beliau [Ibrahim] akan berusia panjang, tetapi tidak ada lagi Nabi setelah beliau shallallahu’alaihiwasallam”.[16]
2.             Kalimat لو dalam hadits { وَلَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا } dalam ilmu nahwu [tata bahasa arab] termasuk { حرف امتناع لامتناع  } yang memberikan faedah seperti dalam ungkapan
انها تفيد امتناع الشرط و امتناع الجواب
 “Bahwa [ لو ] tersebut berfungsi mencegah terjadinya “syarat” dan “jawab”.
Yang menjadi “syaratnya” adalah perkataan hidupnya putra Nabi [عَاشَ], dan itu tidak mungkin terjadi karena telah wafat. Dan yang menjadi “jawabnya” adalah perkataan ‘tentu ia akan menjadi Nabi yang benar [لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا ] karena bertentangan dengan dalil al Qur’an dan hadits tentang berakhirnya Nabi sepeninggal beliau.[17]
3.             Hadits tersebut bukan hadits yang shahih, karena pada perowinya terdapat Ibrahim bin Usman yang di dhaifkan oleh para ahli hadits, seperti:
-                 Ibnu Mu’in mengatakan bahwa ia [Ibrahim bin Usman] adalah “laisa bi tsiqqah”.
-                 Imam Ahmad berkata bahwa dia adalah “dla’if”.
-                 An Nasa’I berkata bahwa ia adalah “matrukul hadits”.[18]
Dengan demikian apabila hadits ini di jadikan sebagai hujjah akan kebenaran adanya Nabi setelah Rasulullah sahallallahu’alaihi wasallam tidak bisa di terima.
2.                  Firman Allah :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا [النساء/69]
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Menurut para  Ahmadi [sebutan bagi warga pengikut Ahmadiyah], menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik dan patuh setia kepada kepada Allah dan RasulNya, mereka akan di beri empat macam nikmat yaitu: menjadi Nabi, menjadi siddiq, menjadi syahid, dan menjadi orang shalih.[19]                                               
Dalam pandangan kaum muslimin, jika di lihat dalam beberapa tafsir kita akan mendapati beberapa asbabaun Nuzul tentang ayat ini, di antaranya:
عن عائشة قالت جاء رجل إلى النبي فقال : يا رسول الله والله إنك لأحب إلي من نفسي وإنك لأحب إلي من أهلي وأحب إلي من ولدي وإني لأكون في البيت فأذكرك فما أصبر حتى آتيك فأنظر إليك وإذا ذكرت موتي وموتك عرفت أنك إذا دخلت الجنة رفعت مع النبيين وإني إذا دخلت الجنة خشيت أن لا أراك فلم يرد عليه النبي حتى نزل جبريل بهذه الآية { ومن يطع الله والرسول ……..} الآية       
“Dari Aisyah ia berkata: ‘telah datang seoranmg lelaki kepada Nabi sahallallahu’alaihiwasallam dan berkata,’Ya Rasulullah sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari pada diriku, dan sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari ada anakku, dan sesungguhnya jika aku sedang ada di rumah lalu aku teringat kepada engkau, maka aku tidak sabar, sehingga aku datang kepada engkau kemudian aku ingin melihat kepada engkau. Dan apabila aku teringat akan kematianku dan kematian engkau, aku tahu bahwa sesungguhnya apabila engkau masuk surga engkau akan naik beserta Nabi-Nabi, dan sesungguhnya apabila aku masuk surga, aku takut tidak bisa melihat engkau. Nabi sahallallahu’alaihiwasallam tidak menjawab sedikitpun sehingga turun keadanya malaikat jibril dan menurunkan ayat, ومن يطع الله ……dan seterusnya.[20]
Dalam riwayat yang lain di sebutkan dengan lebih jelas behwa maksud dari firman Allah tersebut bukanlah akan mengangkat seseorang menjadi Nabi, melainkan akan menyertai Nabi di surga kelak, sebagaimana dalam riwayat :
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: أَتَى فَتًى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّ لَنَا مِنْكَ نَظْرَةً فِي الدُّنْيَا، وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لا نَرَاكَ، لأَنَّكَ فِي الْجَنَّةِ فِي الدَّرَجَاتِ الْعُلَى، فَأَنْزَلَ عَزَّ وَجَلَّ:" وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُول…… " فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ"
“Dari Ikrimah ra, ia berkata,’Seorang pemuda datang kepada Nabi, dan berkata,”Ya Nabiyallah sesungguhnya kami bisa melihat engkau di dunia, dan pada hari kiamat nanti kami tidak akan bisa melihat engkau, karena sesungguhnya engkau berada di surga di tingkat paling atas”, maka Allah menurunkan ayat ومن يطع الله …, kemudian Rasulullah berkata kepadanya,”Insya Allah engkau akan beserta aku di surga”.[21]
Dengan demikian maksud dari ayat tersebut adalah “Orang-orang yang takut kepada Allah dan RasulNya, nanti di akherat Allah akan mengumpulkan mereka bersama para Nabi, para sidiqqin, para syuhada’ dan dan ara shalihin. Mereka bisa melihat Nabi-Nabi, berbincang-bincang denganya, bahkan berteman dengan Nabi-Nabi.[22]
Asbabun nuzul dari ayat ini tidaklah seperti perkataan Ahmadi bahwa mereka akan menjadi Nabi. Karena bila demikian tentunya para shahabat telah menjadi Nabi, di karenakan tingginya takutnya dan taatnya mereka kepada Allah dan rasulNya, kenyataannya hingga mereka meninggal tidak satupun di antara mereka ada yang menjadi Nabi.
3.                  Firman Allah ta’ala: dalam QS Al Baqarah 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak”.
Menurut Ahmadi, bahwa ayat ini menjelaskan bahwa hikmah akan di terus di berikan kepada umat Islam hingga datangnya kiamat. Adapun makna dari hikmah adalah Nubbuwah yang akan terus sampai datangnya hari kiamat.[23]
Ibnu Abbas mengatakan bakwa makana Hikmah adalah [ إصابة القول والفعل والرأي ] ketepatan dalam ucapan, perbuatan dan pemikiran.[24] Jamaludin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzi mengatakan bahwa paling tidak ada sebelas macam makna hikmah.[25]  Di antaranya adalah bermakna ke-Nabi-an sebagaimana riwayat dari Abu Shalih, hanya saja makna seperti ini sangat bertentangan dengan ayat maupun hadits tentang tertutupnya ke-Nabi-an sepeninggal beliau.   
Ayat yang membicarakan tentang hikmah ini juga ada dalam QS Luqman: 12
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ
Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar, ia berkata, ‘aku mendengar Rasulullah bersabda, “Benar…Aku katakana bahwa luqman itu bukan seorang Nabi, tetapi ia adalah seorang hamba yang di jaga oleh Allah”. [26]
4.                  Firman Allah:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ [البقرة/124]
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim."
Dalam pandangan Ahmadi, dalam ayat ini Allah menjanjikan kepada keturunan Ibrahim bahwa kepada mereka akan di berikan pangkat kepemimpinan [nubuwah] untuk selama-lamanya. Tetapi orang-orang yang aniaya tidak akan mendapatkannya, sekalipun yang lain mendapatkan pangkat imamah sesuai kesungguhannya. Dan imamah yang di maksud adalah nubuwat seperti yang telah di capai Ishaq, Ismail dan Nabi-Nabi setelahnya.[27]
Para mufassir menjelaskan bahwa pada ayat tersebut Allah telah menjanjikan kepada Ibrahim dan keturunannya sebagai imam [pemimpin], yaitu orang yang di ikuti atau di jadikan panutan.[28] Tetapi tidaklah benar bila Allah telah menjanjikan kepada keturunan Ibrahim bahwa kepada mereka di berikan kepemimpinan atau ke-Nabi-an selama-lamanya, karena hal tersebut tidak di isyaratkan di dalam firmanNya. Terlebih lagi Rasulullah telah mengkhabarkan bahwa dengan meninggalnya beliau berarti telah tertutuplah ke-Nabi-an.
5.                  Firman Allah dalam QS Al A’raf: 35
يَا بَنِي آَدَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Menurut para Ahmadi ayat tersebut menunjukkan kabar suka tentang kedatangan Nabi untuk memperbaiki umat manusia. Itulah sebabnya dalam kata datang di tambahkan dengan [ نّ ] yang mengkhususkan keada masa yang akan datang.
Jika ditinjau dari susunan ayat terdahulu [sebelumnya 27, 28 dan 38] maka akan lebih jelas lagi bahwa cucu adam yang tersebut dalam ayat ini adalah manusia secara umum, tidak tertentu kepada cucu adam yang terdahulu saja.[29]
Dalam pandangan para ulama bila ayat tersebut menunjukkan akan datangnya rasul setelah Rasulullah, tentunya beliau akan mengkhabarkan kepada para shahabat. Tetapi kenyataannya beliau tidak mengkhabarkannya dan justeru beliau menyatakan bahwa dengan meninggalnya berarti telah tertutuplah pintu keNabian. 
6.                  Firman Allah ta’ala
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا [المزمل/15]
“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun”.
Menurut kaum Ahmadi, dalam ayat ini Nabi Muhammad di serupakan dengan Nabi Musa, sebagaimana dalam ayat lain di nyatakan:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ [النور/55]
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa….”
Ayat di atas menurut warga Ahmadi menegaskan bahwa Allah akan meneruskan pemilihan khalifah-khalifah dalam Islam seperti yang telah terjadi pada Bani Israil yang telah terpilih menjadi pengganti Nabi Musa a.s, yang jumlahnya sampai puluhan. Maka tidak ada alasan bahwa pemilihan tidak akan di lakukan lagi sesudah Nabi Muhammad SAW, dengan Nabi Musa menghendaki supaya dari antara umat Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam juga terpilih khalifah. Dalam umat Nabi Musa terdapat banyak sekali Nabi yang kedudukannya sebagai pembantu  atau meneruskan syariat Nabi Musa seperti Nabi Harun.[30]
Pernyataan warga Ahmadi ini tentunya berseberangan dengan yang di pahami oleh para ulama’ karena:
1.                   Dalam surat al Muzammil:16 tersebut persamaan antara Nabi Musa dengan Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam adalah dalam pengangkatan keduanya menjadi Nabi/rasul, karena:
-                      Musa hanya di utus kepada kaum Bani Israil saja sedangkan Nabi Muhammad  Shallallhuh’alaihi wasallam di utus kepada seluruh umat manusia [QS al A’raf:158, Saba’:28, al Anbiya’:107].
-                      Syariat yang di bawa oleh Nabi Musa belum sempurna sedangkan syariat Nabi Muhammad telah sempurna [QS a Ma’idah: 4].
-                      Dalam menjalankan tugasnya Nabi Musa di bantu oleh Nabi Harun sedangkan Nabi Muhammad tidak di bantu oleh Nabi lain [al A’raf: 143]

2.                   Yang di janjikan oleh Allah kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh [pada QS An Nur: 55], bukanlah ke-Nabi-an melainkan kekhilafahan. Sekalipun yang di jadikan khalifah pada kalangan Bani Israil adalah seorang Nabi, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
“Adalah Bani Israil di perintah oleh Nabi-Nabi, setiap wafat seorang Nabi lantas di ganti oleh Nabi yang lain, tetapi sesudahku tidak aka nada lagi Nabi”.
Hal ini tidak berarti yang jadi khalifah pada umat ini adalah seorang Nabi, karena pada kenyataannya para khulafaurrasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab dan seterusnya juga tidak menjadi Nabi.
7.                  Firman Alah ta’ala
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا [الإسراء/15]
“….dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.
Menurut Ahmadi, di zaman ini Allah ta’ala sedang dan akan menurunkan azab besar. Di antaranya adalah Perang Dunia I, II, Perang Korea, Perang Teluk, Perang Vietnam, Perang Timur Tengah, Perang Balkan, dan berbagai macam bencana alam. Apakah ini tidak mengandung arti bahwa di zaman ini Allah telah mengutus seorang Nabi-Nya?[31]
Bila kita perhatikan penjelasan ulama Ahmadi dengan seksama, bisa kita simpulkan bahwa mereka memiliki pemikiran , “tiap kali Alah menurunkan azab kepada manusia, baik berupa peperangan, bencana alam atau yang lainnya, maka hal itu adalah tanda bahwa Allah telah mengutus Rasul yang baru lagi”. Padahal para mufassir menjel;askan bahwa  maksud ayat tersebut adalah bahwa “orang/kaum yang tidak datang kepadanya Nabi/Rasul/tidak sampai padanya dakwah [ahlul fatroh] maka orang tersebut tidak akan di siksa oleh Allah di akherat nanti, ia selamat dengan karunia Allah”.[32] 
Dalam kenyataanya rasulullah telah mengatakan dengan[33]
إن الرسالة و النبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي و لا نبي
8.                  Tentang firman Alah:
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ [الصف/6]
“Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)."
Menurut ulama Ahmadi bahwa dalam ayat ini nama Ahmad dalam arti majaz atau zilli adalah “bayangan”, yang di peruntukkan bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s, karena beliau memiliki kesamaan dengan Nabi Isa a.s dalam sifat-sifatnya, sedangkan Nabi Muhammad sahallallahu ’alaihi wasalam memiliki kesamaan dengan Nabi Musa a.s.[34]
Menurut para mufassir, pada ayat tersebut sama sekali tidak terdapat nama Mirza Ghulam Ahmad, yang ada hanyalah nama Ahmad. Dalam Tarikh Madhinatu Damsyiq terdapat riwayat:
أن لي خمسة أسماء : أنا محمد و أنا أحمد و أنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفار و أنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي و أنا العاقب و العاقب ليس بعده نبي
“Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya al Mahi yang menghaus kekafiran, saya al Hasyir yang mengumpulkan manusia di telaak kakiku dan saya al ‘aqib yang tidak ada Nabi setelah saya”[35]
Dalam hadits ini dijelaskan banwa Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam memiliki beberapa nama, diantaranya adalah Ahmad dan ‘Aqib [tidak ada lagi Nabi setelah beliau], dan juga terlihat dengan jelas bahwa yang di maksud dengan Ahmad dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad shallallhu’alaihi wasalam dan bukan Mirza Ghulam Ahmad, karena setelah beliau tidak aka ada Nabi lagi.
9.                  Arti khatam pada kata وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ.
Menurut kaum Ahmadi kata khatam memiliki tiga makna:
1.                  Jika di idhafahkan/di rangkai dengan dengan kata benda jamak maka artinya adalah: utama, paling sempurna, paling baik. Maka khatamun Nabiyyin artinya: Nabi paling baik dari sekalian Nabi.
2.                  Dimaknai cincin [untuk perhiasan] karenanya khatamun Nabiyyin berarti Nabi Muhammad adalah perhiasannnya para Nabi.
3.                  Di maknai stempel atau cap, sehingga khatamun Nabiyyin berarti bahwa Nabi Muhammad adalah stempel bagi sekalian Nabi [dengan stempel/pengesahan dari Nabi Muhammad kita mengetahuui kebenaran semua Nabi].
Sehingga kata khatam tidak bisa di maknai dengan penutup, seperti yang terlihat dalam riwayat berikut ini:
اطْمَئِنَّ يَا عَمِّ ! فَإِنَّكَ خَاتَمُ الْمُهَاجِرِينَ فِي الْهِجْرَةِ ؛ كَمَا أَنِّي خَاتَمُ النَّبِيِّينَ فِي النُّبُوَّةِ
“Tenteramlah wahai pamankau [al Abbas] sesungguhnya engkau adalah khatamul Muhajirin dalam hijrah dan aku adalah khatamun Nabiyyin”.[36]
Pada kenyatannya Abbas [paman Nabi] bukanlah muhajir yang paling terakhir. Demikian pula dalam riwayat lain bahwa Nabi bersabda;
أنا خاتم الأنبياء ، وأنت يا علي خاتم الأولياء
Aku adalah khatamul anbiya’ dan engkau wahai Ali, adalah khatamul Auliya’”.[37]
Dalam riwayat tersebut kata khatamun tidak bisa di maknai dengan penutup, sebagai contoh jika Ali di katakana sebagai penutup para wali berarti tidak boleh ada wali setelah Ali ra, sedangkan pada kenyataannya banyak sekali wali yang datang setelah masa Ali ra.[38]
Menurut pandangan para ulama’ ahlu sunnah kata dasar “khatam” memang memiliki tiga arti yaitu cincin, stempel/cap/segel dan penutup/paling akhir. Makna-makna tersebut akan berubah sesuai dengan rangkaiannya. Bila di rangkai dengan dengan kata الذهب  [emas] sehingga akan menjadi خاتم الذهب bermakna cincin emas. Jika di rangkai dengan kata البريد [post], sehingga akan menjadi خاتم البريد bermakna stempel post, dan jika di rangaki dengan النبيين [para Nabi] sehingga menjadi خاتم النبيين  maka maknanya adalah penutup para Nabi.
Terlebih lagi Nabi memperjelas dengan perkataan tambahan, sebagaimana sabdanya:

 وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya akan ada dari umatku tiga puluh orang pembohong, mereka mengaku dirinya adalah Nabi dan sesungguhnya saya adalah penutup Nabi-Nabi dan tidak ada lagi Nabi setelahku”.[39]
Beliau memperjelas dengan perkataan لَا نَبِيَّ بَعْدِي yang berarti tidak akan pernah ada Nabi lagi setelahku. Bila khatamun Nabiyyin di maknai dengan stempel para Nabi, cincin para Nabi, dan lainnya berarti pada hakekatnya ia telah melakukan penyimpangan baik dari sisi makna maupun syariat.
Adapun tentang Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahamd bin Hambal, Ibnu Asakir yang kesemuanya menerima riwayat dari jalan Ismail bin Qais maka erlu di ketahui bahwa hadits tersebut adalah dha’if. Beberapa ulama ahli hadits memberikan komentar tentang Ismail bin Qais, misalnya:
-                      Bukhari dan Darul Quthni bahwa Ismail bin Qais adalah [ منكر الحديث ] haditsnya di ingkari.
-                      Ibnu Adi berkata [ و عامة ما يرويه منكر ] keumuman hadits yang di riwayatkan mungkar.
-                      Nasa’I mengatakan bahwa ia [ ضعيف ] lemah.[40]
Adapun hadits tentang Ali bahwa ia adalah خاتم الأولياء penutup para wali, maka Khatib al Baghdadi memebrikan komentarnya bahwa “hadits ini adalah palsu dari perbuatan tukang cerita yang di buat oleh Umar bin Wasil, atau di buat atas namanya”[41]  
Demikianlah dan sebenarnya masih ada banyak lagi ayat atau hadits yang mereka pakai sebagai hujjah atas keabsahan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yang perlu di kaji dan dikritisi dengan seksama, wa Allahu ‘alam.[42]
           






[1] Di sampaikan pada pertemuan Majlis Tarjih, Tajdid dan pemikiran Islam, ahad Pon 19 Juni 2011 di PP Al-Mu’min Muhammadiyah Tembarak Temanggung.
[2] Al Ibad, Syarah hadits Jibril, 1/34
[3] Abdul Muhsin al Abbad, Syarah Sunan Abu Dawud, 25/462
[4] Sunan Tirmidzi 3/364, Shahih ‘ala Syarti Muslim sekalipun tidak di keluarkan olehnya sebagaimana di nyatakan oleh adz Dzahabi dalam ta’liq-nya.
[5] Bukhari dalam Shahih-nya, 3/86, di sebutkan pula dalam al Lu’lu’ wa al Marjan Fiima Ittifaq ‘Alaihi al Syaikhan, 1/599.
[6] Di riwayatkan oleh Tabrani 5/203 no: 5095 dari Barra’ dan Zaid,
  Diriwayatkan pula oleh at Tayalisy 205, Ahmad 1/179 no: 1547, Bukhari 3/1359 no:3503, Muslim 4/1870 no: 2404, Tirmidzi  5/641 no: 3731, Ibnu Majah 1/42 no: 115 dari Sa’ad bin Abi Waqash.
  Di riwayatkan ula oleh Abu Ya’la 12/310 no: 6883, al Haitsami 9/109, dari Ummu Salamah.
[7] Di riwayatkan oleh Ahmad 4/154 no: 17441, Tirmidzi 5/619 no: 3686, Thabarani 17/298 no: 822, Hakim 3/92 no: 4495 ia berkata sanadnya shahih, dan Ibnu ‘Adiy 3/216.
[8] Di keluarkan oleh al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/140, Ibnu Asakir dalam Tarikh Madinatu Damsyir 3/21, di riwwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim.
[9] Shahih Muslim 1/581.
[10] Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali al Baihaqi, Sunan al Kubra, 2/433, Muslim 1/371 no: 523, Tirmidzi 4/123 no: 1553 dan di katakana hasan shahih, Ibnu ‘Awanah 1/330 no: 1169, Abu Ya’la 11/377 no: 6491, Ibnu Hibban 8/67 no: 2313. 
[11] Shahih Bukhari 2/270 dan shahih Muslim 2/315.
[12] Riwayat Tirmidzi 8/156, bisa di lihat dalam kutubu tis’ah dalam musnad Ibnu Jarir Abdilah al Bajali.
[13] Ibnu Abbas, Tanwiru al Miqbas Min Tafsiri Ibni Abbas, hlm 252.
[14] Ibnu Majah dalam Sunannya 4/465.
[15] M Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm 22 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1996.
[16] Ibnu Majah 4/464.
[17] Pembahasan mengenai huruf [  َلَو ] jenis dan kegunaannya telah di uraikan secara anjang lebar oleh Jamaludin bin Hisyam al Anshari dalam Mughni al Labib 1/205-215.
[18] Silahkan baca Mizanul I’tidal, 1/47,48.  
[19] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian, hlm 15 Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
[20] Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al Thabarani, al Mu’jam al Ausath, 1/152. Lihat pula tafsir Ibnu Katsir , 2/354
[21] Abi Hatim al Razi, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim Musanadan ‘An Rasulillah wa al Shahat wa al Tabi’in, 4/240.
[22] Lihat pula tafsir Ibnu Katsir , 2/35
[23] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 20 Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.
[24] Abdullah Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas Min Tfsiri Ibni Abbas, hlm 48.
[25] Jamaludin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzi, Zaadu al Muyassar fi ‘ilmi Tafsir,hlm 278
[26] Qososul Anbiya’, hlm. 468.
[27] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 18 Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.
[28] Abdullah bin Abdul Muhsin al Turkey, Tafsir al Muyassar, hlm. 138
[29] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 20-21   Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.

[30] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 18-19  Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.
[31] M. Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm 20-21, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996
[32] Syekh As Shawy al Maliki,Hasyiyah As Shawy, 2/127.
[33] Sunan Tirmidzi 3/364, Shahih ‘ala Syarti Muslim sekalipun tidak di keluarkan olehnya sebagaimana di nyatakan oleh adz Dzahabi dalam ta’liq-nya.
[34] M. Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm 41, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.
[35] Di keluarkan oleh al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/140, Ibnu Asakir dalam Tarikh Madinatu Damsyir 3/21, di riwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim.
[36] Di keluarkan oleh Ibnu Asakir 26/296, Ahmad 2/941 no 1812, Thabrani 6/154 no 5828, Abu Ya’la 5/55 no 2646, Abi Hatim 2/386, hadits ini dhaif lihat Al Bani, dalam silsilah al Hadits adh Dhaifah wal Mudhu’ah  wa Atsaruha Sai’ fi al Ummah, 2/136.
[37] Di keluarkan oleh al KHatib 10/356-358, Ibnu Juzi dalam al Maudhu’at 1/398 dan al Suyuthi 1/379-380, hadits ini dhaif dan bisa di lihat dalam Albani, silsilah al Hadits adh Dhaifah wal Mudhu’ah wa Atsaruha Sai’ fi al Ummah,  2/136.
[38] M. Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm25-27, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.

[39] Riwayat Tirmidzi 8/156, bisa di lihat dalam kutubu tis’ah dalam musnad Ibnu Jarir Abdilah al Bajali.
[40] Lihat Mizanul I’tidal hlm 244.
[41] , silsilah al Hadits adh Dhaifah wal Mudhu’ah wa Atsaruha Sai’ fi al Ummah,  2/136.
[42] Dede Nasrudin, Ahli Sunnah Menjawab Ahmadiyah, Lembaga Pengembangan dan Pengkajian Islam [LPPI], 2002

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tulisan saudara Agus Efendi ini telah saya jawab dengan tuntas di blog http://nafirizaman.blogspot.com/2014/07/menjawab-agus-efendi.html. Silahkan dibaca dan ditelaah. Jazaakumu-Llaah :)

    BalasHapus