Oleh: Agus Efendi, M.Ag[1]
Pendahuluan
Maoyritas umat
Islam sejak zaman Nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam hingga sekarang
beri’tikad [berkeyakinan] bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir.
Sesudah beliau tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul yang baru, karena dengan
meninggalnya beliau berarti terputuslah kenabian. I’tikad ini di dasarkan
kepada keterangan-keterangan yang bersumber dari kitab suci al Qur’an dan
hadits-hadits Nabi yang shahih.
Hanya saja ada
segolongan kecil di antaranya seperti Ahmadiyah [Qodiani] yang ber’itikad bahwa pintu
kenabian masih terbuka, dengan kata lain setelah meninggalnya Nabi Muhammad
masih akan datang lagi nabi-nabi yang
lain.
Untuk
memperkuat I’tikad itu merekapun
membawakan beberapa ayat suci al Qur’an dan beberapa hadits Nabi yang mereka
anggap sebagai hujjah. Padahal sebenarnya tidak ada satupun ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi shahih yang menerangkan akan adanya Nabi baru
setelah meninggalnya Nabi Muhammad.
Melalui
tulisan ini kami berharap dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang
membacanya untuk membentengi diri dari aqidah yang sesat dan menyesatkan.
Definisi Nabi dan Rasul
Definisi Nabi dan Rasul
Syamsudin
Muhammad al Mahally, dalam Syarah ‘Ala Matni Jami’I al Jawami’, memberikan
ta’rif [definisi] sebagai berikut;
أن النبي:
هو من أوحي إليه بشرع وان لم يؤمر بتبليغه ، وان أمر بتبليغه فرسول – حشية البناني
1/13-
]والرسول: هو من أوحي إليه بشرع وأمر بتبليغه فكل
رسول يعتبر نبيا [
“Nabi
adalah manusia yang di beri wahyu dengan syariat walaupun tidak di perintahkan
untuk menyampaikannya,apabila ia di perintah untuk menyampaikannya ia adalah
Rasul”.
لكن هذا التفريق قد جاء في بعض الأدلَّة ما يدلُّ
على عدم صحَّته فيُمكن أن يُقال في الفرق بين
الرسول والنَّبيِّ: إنَّ الرَّسولَ مَن أُوحي إليه بشرع وأُنزل عليه كتاب، والنَّبيَّ
هو الذي أُوحي إليه بأن يُبلِّغ رسالةً سابقة، وهذا هو المتَّفق مع الأدلَّة[2]
أن الفرق بين الرسول والنبي أن الرسول: هو الذي تنزل عليه شريعة ابتداءً
ويحكم بها، وأما الأنبياء فإنهم يؤمرون بأن يحكموا بشرائع سابقة ولم ينزل عليهم كتاب،
كأنبياء بني إسرائيل من بعد موسى الذين أمروا بأن يحكموا بالتوراة وهي لم تنزل عليهم,
فإذاً: النبي هو الذي أمر بأن يحكم بشريعة سابقة والرسول هو الذي أنزل
عليه شرع ابتداءً.[3]
Dalil-dalil Tertutupnya Kenabian
Banyak sekali bermunculan orang
yang mengaku menjadi Nabi sepeninggal beliau, tidak terkecuali Mirza Ghulam
Ahmad yang mengklaim dirinya sebagai Nabi dan di yakini pula oleh para
pengikutnya dari kalangan warga Jemaat Ahmadiyah. Berikut ini adalah beberapa
dalil tentang telah tertupnya keNabian sepninggal Rasulullah shallallu’alaihiwasallam.
1.
Sabda
Nabi dari Anas bin Malik:
إن الرسالة
و النبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي و لا نبي
“sesungguhnya
kerasulan dan keNabian telah terputus, maka tidak ada Rasul setelah saya dan
tidak ada keNabian…”.[4]
Karenanya
telah jelas, tidak akan ada lagi orang yang di angkat menjadi Nabi dan Rasul,
seeninggal beliau.
2.
Dari Abu
Hurairah, Nabi bersabda:
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كَلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ،
وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي،
“Adalah Bani
Israil di perintah oleh Nabi-Nabi, setiap wafat seorang Nabi, lantas di ganti
oleh Nabi yang lain, hanya saja tidak
ada Nabi sesudahku”[5]
Sekalipun pada
kaum Bani Israil selalu bermunculan para Nabi sebagai pengganti Nabi
sebelumnya, namun tidak ada lagi pengganti Nabi Muhammad Shallallhu’alaihi
wasallam.
3.
Dari Mush’ab
bin Sa’ad dari bapaknya, bahwa tatkala Rasulullah berangkat menuju [perang]
Tabuk dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti [di Madinah],
kamudian Ali berkata;’Apakah engkau meninggalkanku di tengah anak-anak dan
para wanita?’ bersabda:
أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ
هَارُونَ مِنْ مُوسَى غَيْرَ أَنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
“Apakah kamu
tidak suka [wahai Ali] kedudukanmu di sampingku seperti kedudukan Harun di
samping Musa, hanya saja tidak ada Nabi sesudahku”.[6]
Nabi
menjelaskan kedudukan Ali di sisi Nabi, namun beliau menegaskan bahwa
kesamaannya dengan Nabi Harun bukanlah dalam keNabian, karena
sepeninggal Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam tidak aka nada orang
yang menerima pangkat keNabian.
4.
Dari Ubbah bin
Amr, bahwa Nabi Shallallhuh’alaihi wasallam bersabda:
لو كانَ
بعدي نبيّ لكانَ عمرَ بن الخطاب
“jika ada Nabi
setelah-ku, tentu [yang jadi Nabi] adalah Umar bin Khathab”.[7]
Kenyataan yang
tidak bisa kita pungkiri adalah sepeninggal Rasulullah Shallallhuh’alaihi
wasallam, Umar bin khathab tidak menjadi Nabi.
5.
Dari Muhammad
bin Jubair bin Mut’im dari Bapaknya, ia mendengar Nabi bersabda:
أن لي خمسة أسماء : أنا محمد و أنا أحمد و أنا
الماحي الذي يمحو الله بي الكفار و أنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي و أنا
العاقب و العاقب ليس بعده نبي
“Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya
al Mahi yang menghaus kekafiran, saya al Hasyir yang mengumpulkan manusia di
telaak kakiku dan saya al ‘aqib yang tidak ada Nabi setelah saya”[8]
Bentuk muanats
dari عاقب adalah عاقبة
yang di sebut sebanyak 32 kali dalam al Qur’an yang kesemuanya memunyai arti “kesudahan”
atau “akhir”, seperti di antaranya:
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ [الأعراف/84]
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu);
maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.
6.
Dari Abu
Hurairah, Nabi bersabda:
فَإِنِّي آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ
مَسْجِدِي آخِرُ الْمَسَاجِدِ
“Sesunguhnya saya adalah Nabi yang paling akhir, dan
sesungguhnya masjidku adalah yang paling akhir dari sekalian masjid [yang
didirikan].[9]
Maksud dari hadits tersebut adalah bahwa:
-
Muhammad adalah Nabi yang terahir sehingga setelah beliau
tidak ada lagi Nabi yang baru.
-
Masjid beliau [masjid Nabawi] adalah masjid terakhir yang
di bangun oleh seorang Nabi, sehingga setelahnya tidak ada lagi masjid yang di
bangun oleh seorang Nabi.
7.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallhu’alaihi
wasallam bersabda
فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ
: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ ، وَأُحِلَّتْ لِىَ الْغَنَائِمُ
، وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا ، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً
، وَخُتِمَ بِىَ النَّبِيُّونَ
“Aku di
lebihkan di atas Nabi-Nabi yang lain dengan enam perkara: aku di beri beberapa
kumpulan kalimat [syariat yang sempurna], aku di tolong dengan rasa takut
[kedalam hati orang-orang kafir], di halalkan bagiku harta rampasan [perang],
bumi ini di jadikan bagiku sebagai tempat suci dan masjid, aku di utus kepada
seluruh manusia, dan di sudahi/di tutup denganku Nabi-Nabi”.[10]
8.
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلُ الأَنْبِيَاءِ مِنْ
قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ
مِنْ زَاوِيَةٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ، وَيَعْجَبُونَ لَهُ، وَيَقُولُونَ:
هَلاَّ وُضِعَتْ هذِهِ اللَّبِنَةُ فَأَنَا اللَّبِنَةُ، وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
“Perumpamaan
saya dengan Nabi-Nabi sebelum saya seperti seorang laki-laki yang membuat
rumah. Bagus dan cantk sekali rumah itu di buatnya, tetapi ada kekurang sebuah
batu bata dalam sudut dari rumah itu, orang-orang yang melihat rumah itu kagum
melihat keindahannya, tatapi mereka bertanya,’kenapa batu bata yang satu itu
belum terpasang? Rasulullah bersabda,’Sayalah batu yang satu yang kurang itu
dan saya adalah anutup Nabi-Nabi”.[11]
9.
Dari Tsauban,
Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّهُ
سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ
وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya
akan ada dari umatku tiga puluh orang pembohong, mereka mengaku dirinya adalah
Nabi dan sesungguhnya saya adalah penutup Nabi-Nabi dan tidak ada lagi Nabi
setelahku”.[12]
Ini merupakan
kemu’jizatan Nabi, yang di antaranya adalah mengetahui [dengan pemberitahuan
Allah] suatu perkara yang akan datang, dan hal tersebut telah menjadi
kenyataan. Satau persatu bermunculanlah orang-orang yang mengaku menjadi Nabi,
seperti Musailamah al Kadz-dzab, Aswad al Ansi, Mukhtar bin Abi Ubaid [Tsaqif],
Mirza Ghulam Ahmad dan seterusnya.
Hadits-hadits
yang menjelaskan akan datangnya Nabi palsu [gadungan] juga di riwayatkan oleh
ulama-ulama ahli hadits lainnya, di antaranya:
a.
Imam Bukhori
dalam Shahihnya 4/121.
b.
Imam Abu Dawud
dalam Sunannya 4/121.
c.
Imam Thabrani
dalam Mu’jAm Kabirnya 3/188.
d.
Imam Ahmad
dalam Musnadnya 5/396.
10.
Firman Allah
dalam QS Al Ahzab: 41
مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ
النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kam.,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi”.
Dalam
menjelaskan perkataan [خاتم النبيين ], Ibnu Abbas ra menjelaskan:
ختم الله به النبيين قبله فلا يكون نبي بعده
“Dengan Nabi
Muhammad, Allah telah menutup para Nabi sebelumnya, maka tidak aka nada Nabi
baru sesudahnya”[13]
Dengan
demikian maka jelaslah bahwa pintu-pintu keNabian telah tertutup, sehingga
setiap yang beranggappan bahwa pintu keNabian setelah meninggalnya Rasulullah Shallallhuh’alaihi
wasallam masih terbuka berarti ia telah menentang firman Allah dan Sabda
Rasul-Nya.
Karena itulah
Rabithah Alam Islami, Majlis Ulama Indonesia [MUI], dan organisasi-organisasi
Islam di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama’ [NU], Muhammadiyah, Persatuan Islam
[Persis], Persatuan Tarbiyah Indonesia [Perti], Persatuan Umat Islam [PUI] dan
organisasi Islam lainnya telah menyatakan bahwa Ajaran Ahmadiyah [Qadian]
sudah keluar dari Akidah Islamiyah.
Sekalipun
demikian, namun orang-orang yang inkar [Jemaat Ahmadiyah], tetap tidak akan
berguna berbagai macam hujjah ketika di tegakkan atas mereka, sebagaimana
penyeir Arab:
المنكر لا يفيده التطويل ولو تليت عليه التوراة
والانجيل
“Orang
yang inkar tidak akan berguna baginya [hujjah] panjang lebar, walau di bacakan
kepadanya kitab Taurat dan kitab Injil”
Beberapa
syubhat dan bantahannya
1.
Kutipan hadits
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َقَالَ إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ
عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا
“Ketika
Ibrahim putra Rasulullah wafat, Beliau bersabda ‘Sesungguhnya di surga ada yang
menyusukannya, dan kalau usianya panjang ia akan menjadi seorang Nabi yang
benar”.[14]
Menurut
Ahmadiyah seandainya maksud “khatamun Nabiyin” adalah sebagai penutup
para Nabi atau Nabi terakhir dan tidak ada lagi Nabi sesudahnya, tentunya
beliau tidak akan mengatakan demikian, Jika usianya panjang ia akan menjadi
Nabi yang benar”.[15]
Sehingga menurut mereka pintu-pintu masih terbuka sepeninggal Muhammad shallallahu’alaihiwasallam.
Para Ahli
hadits memberikan komentar tentang hadits tersebut:
1.
Pernyataan
Nabi itu hanya sebagai [مبالغة في التفضيل ] yaitu
ungkapan yang menyangatkan kemuliaan Ibrahim saja, sebagaimana perkataan beliau
keppada Umar bin Khathab, “Kalu ada Nabi sesudahku tentu yang akan jadi Nabi
adalah Umar bin Khathab”, bukan menunjukkan adanya Nabi lagi sepeninggal
beliau, sebagaimana Umar-pun tidak menjadi Nabi, di karenakan keumuman hadits:
إن الرسالة و النبوة قد انقطعت فلا رسول
بعدي و لا نبي
Dalam riwayat
Ibnu Majah, juga di sebutkan riwayat yang berbunyi:
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ
قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَأَيْتَ
إِبْرَاهِيمَ ابْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَاتَ
وَهُوَ صَغِيرٌ وَلَوْ قُضِيَ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَبِيٌّ لَعَاشَ ابْنُهُ وَلَكِنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
“Telah bercerita kepada kami Ismail
bin al Khalid, ia berkata,’Aku bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa, ’Apakah
engkau pernah melihat Ibrahim putra Rasulullah?’, Abdullah bin Abi Aufa
menjawab ”ia wafat pada waktu masih kecil, kalau di taqdirkan ada lagi Nabi
Setelah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam tentulah putra beliau [Ibrahim]
akan berusia panjang, tetapi tidak ada lagi Nabi setelah beliau
shallallahu’alaihiwasallam”.[16]
2.
Kalimat لو dalam hadits { وَلَوْ عَاشَ لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا } dalam ilmu
nahwu [tata bahasa arab] termasuk { حرف
امتناع لامتناع } yang memberikan faedah seperti dalam
ungkapan
انها
تفيد امتناع الشرط و امتناع الجواب
“Bahwa [ لو
] tersebut berfungsi mencegah terjadinya “syarat” dan “jawab”.
Yang menjadi “syaratnya” adalah perkataan
hidupnya putra Nabi [عَاشَ],
dan itu tidak mungkin terjadi karena telah wafat. Dan yang menjadi “jawabnya”
adalah perkataan ‘tentu ia akan menjadi Nabi yang benar [لَكَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا ] karena bertentangan dengan dalil al Qur’an dan
hadits tentang berakhirnya Nabi sepeninggal beliau.[17]
3.
Hadits
tersebut bukan hadits yang shahih, karena pada perowinya terdapat Ibrahim bin
Usman yang di dhaifkan oleh para ahli hadits, seperti:
-
Ibnu Mu’in
mengatakan bahwa ia [Ibrahim bin Usman] adalah “laisa bi tsiqqah”.
-
Imam Ahmad
berkata bahwa dia adalah “dla’if”.
-
An Nasa’I
berkata bahwa ia adalah “matrukul hadits”.[18]
Dengan
demikian apabila hadits ini di jadikan sebagai hujjah akan kebenaran adanya
Nabi setelah Rasulullah sahallallahu’alaihi wasallam tidak bisa di
terima.
2.
Firman Allah :
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا [النساء/69]
“Dan
barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-Nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Menurut
para Ahmadi [sebutan bagi warga pengikut
Ahmadiyah], menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik dan patuh setia
kepada kepada Allah dan RasulNya, mereka akan di beri empat macam nikmat yaitu:
menjadi Nabi, menjadi siddiq, menjadi syahid, dan menjadi
orang shalih.[19]
Dalam
pandangan kaum muslimin, jika di lihat dalam beberapa tafsir kita akan
mendapati beberapa asbabaun Nuzul tentang ayat ini, di antaranya:
عن عائشة قالت جاء رجل إلى النبي فقال : يا رسول
الله والله إنك لأحب إلي من نفسي وإنك لأحب إلي من أهلي وأحب إلي من ولدي وإني
لأكون في البيت فأذكرك فما أصبر حتى آتيك فأنظر إليك وإذا ذكرت موتي وموتك عرفت
أنك إذا دخلت الجنة رفعت مع النبيين وإني إذا دخلت الجنة خشيت أن لا أراك فلم يرد
عليه النبي حتى نزل جبريل بهذه الآية { ومن يطع الله والرسول ……..}
الآية
“Dari
Aisyah ia berkata: ‘telah datang seoranmg lelaki kepada Nabi sahallallahu’alaihiwasallam
dan berkata,’Ya Rasulullah sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari pada
diriku, dan sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari ada anakku, dan
sesungguhnya jika aku sedang ada di rumah lalu aku teringat kepada engkau, maka
aku tidak sabar, sehingga aku datang kepada engkau kemudian aku ingin melihat
kepada engkau. Dan apabila aku teringat akan kematianku dan kematian engkau,
aku tahu bahwa sesungguhnya apabila engkau masuk surga engkau akan naik beserta
Nabi-Nabi, dan sesungguhnya apabila aku masuk surga, aku takut tidak bisa
melihat engkau. Nabi sahallallahu’alaihiwasallam tidak menjawab sedikitpun
sehingga turun keadanya malaikat jibril dan menurunkan ayat, ومن
يطع الله ……dan seterusnya.[20]
Dalam riwayat
yang lain di sebutkan dengan lebih jelas behwa maksud dari firman Allah
tersebut bukanlah akan mengangkat seseorang menjadi Nabi, melainkan akan menyertai
Nabi di surga kelak, sebagaimana dalam riwayat :
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: أَتَى فَتًى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّ
لَنَا مِنْكَ نَظْرَةً فِي الدُّنْيَا، وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لا نَرَاكَ،
لأَنَّكَ فِي الْجَنَّةِ فِي الدَّرَجَاتِ الْعُلَى، فَأَنْزَلَ عَزَّ وَجَلَّ:"
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُول……
" فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَنْتَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ"
“Dari Ikrimah ra, ia berkata,’Seorang pemuda datang
kepada Nabi, dan berkata,”Ya Nabiyallah sesungguhnya kami bisa melihat engkau
di dunia, dan pada hari kiamat nanti kami tidak akan bisa melihat engkau,
karena sesungguhnya engkau berada di surga di tingkat paling atas”, maka Allah
menurunkan ayat ومن يطع الله …, kemudian Rasulullah berkata kepadanya,”Insya Allah engkau
akan beserta aku di surga”.[21]
Dengan
demikian maksud dari ayat tersebut adalah “Orang-orang yang takut kepada
Allah dan RasulNya, nanti di akherat Allah akan mengumpulkan mereka bersama
para Nabi, para sidiqqin, para syuhada’ dan dan ara shalihin. Mereka bisa
melihat Nabi-Nabi, berbincang-bincang denganya, bahkan berteman dengan Nabi-Nabi.[22]
Asbabun nuzul
dari ayat ini tidaklah seperti perkataan Ahmadi bahwa mereka akan menjadi Nabi.
Karena bila demikian tentunya para shahabat telah menjadi Nabi, di
karenakan tingginya takutnya dan taatnya mereka kepada Allah dan rasulNya,
kenyataannya hingga mereka meninggal tidak satupun di antara mereka ada yang
menjadi Nabi.
3.
Firman Allah
ta’ala: dalam QS Al Baqarah 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah
menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak”.
Menurut Ahmadi, bahwa ayat ini menjelaskan bahwa hikmah
akan di terus di berikan kepada umat Islam hingga datangnya kiamat. Adapun
makna dari hikmah adalah Nubbuwah yang akan terus sampai
datangnya hari kiamat.[23]
Ibnu Abbas
mengatakan bakwa makana Hikmah adalah [ إصابة القول والفعل والرأي ] ketepatan
dalam ucapan, perbuatan dan pemikiran.[24]
Jamaludin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzi mengatakan bahwa paling
tidak ada sebelas macam makna hikmah.[25] Di antaranya adalah bermakna ke-Nabi-an
sebagaimana riwayat dari Abu Shalih, hanya saja makna seperti ini sangat
bertentangan dengan ayat maupun hadits tentang tertutupnya ke-Nabi-an
sepeninggal beliau.
Ayat
yang membicarakan tentang hikmah ini juga ada dalam QS Luqman: 12
وَلَقَدْ
آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ
Diriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Umar, ia berkata, ‘aku mendengar Rasulullah bersabda, “Benar…Aku
katakana bahwa luqman itu bukan seorang Nabi, tetapi ia adalah seorang hamba
yang di jaga oleh Allah”. [26]
4.
Firman
Allah:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ
رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا
قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ [البقرة/124]
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang yang zalim."
Dalam
pandangan Ahmadi, dalam ayat ini Allah menjanjikan kepada keturunan Ibrahim
bahwa kepada mereka akan di berikan pangkat kepemimpinan [nubuwah] untuk
selama-lamanya. Tetapi orang-orang yang aniaya tidak akan mendapatkannya,
sekalipun yang lain mendapatkan pangkat imamah sesuai kesungguhannya.
Dan imamah yang di maksud adalah nubuwat seperti yang telah di
capai Ishaq, Ismail dan Nabi-Nabi setelahnya.[27]
Para mufassir
menjelaskan bahwa pada ayat tersebut Allah telah menjanjikan kepada Ibrahim dan
keturunannya sebagai imam [pemimpin], yaitu orang yang di ikuti atau di jadikan
panutan.[28]
Tetapi tidaklah benar bila Allah telah menjanjikan kepada keturunan Ibrahim
bahwa kepada mereka di berikan kepemimpinan atau ke-Nabi-an selama-lamanya,
karena hal tersebut tidak di isyaratkan di dalam firmanNya. Terlebih lagi
Rasulullah telah mengkhabarkan bahwa dengan meninggalnya beliau berarti telah
tertutuplah ke-Nabi-an.
5.
Firman Allah
dalam QS Al A’raf: 35
يَا بَنِي آَدَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ
مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آَيَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Hai anak-anak
Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu
ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Menurut para
Ahmadi ayat tersebut menunjukkan kabar suka tentang kedatangan Nabi untuk
memperbaiki umat manusia. Itulah sebabnya dalam kata datang di tambahkan
dengan [ نّ ] yang mengkhususkan keada masa yang akan datang.
Jika
ditinjau dari susunan ayat terdahulu [sebelumnya 27, 28 dan 38] maka akan lebih
jelas lagi bahwa cucu adam yang tersebut dalam ayat ini adalah manusia secara
umum, tidak tertentu kepada cucu adam yang terdahulu saja.[29]
Dalam pandangan para ulama bila ayat tersebut menunjukkan
akan datangnya rasul setelah Rasulullah, tentunya beliau akan mengkhabarkan
kepada para shahabat. Tetapi kenyataannya beliau tidak mengkhabarkannya dan
justeru beliau menyatakan bahwa dengan meninggalnya berarti telah tertutuplah
pintu keNabian.
6.
Firman Allah
ta’ala
إِنَّا
أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى
فِرْعَوْنَ رَسُولًا [المزمل/15]
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang
menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang
Rasul kepada Fir'aun”.
Menurut
kaum Ahmadi, dalam ayat ini Nabi Muhammad di serupakan dengan Nabi Musa,
sebagaimana dalam ayat lain di nyatakan:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا
مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ [النور/55]
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa….”
Ayat
di atas menurut warga Ahmadi menegaskan bahwa Allah akan meneruskan pemilihan
khalifah-khalifah dalam Islam seperti yang telah terjadi pada Bani Israil yang
telah terpilih menjadi pengganti Nabi Musa a.s, yang jumlahnya sampai
puluhan. Maka tidak ada alasan bahwa pemilihan tidak akan di lakukan lagi
sesudah Nabi Muhammad SAW, dengan Nabi Musa menghendaki supaya dari antara umat
Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam
juga terpilih khalifah. Dalam umat Nabi Musa
terdapat banyak sekali Nabi yang kedudukannya sebagai pembantu atau meneruskan syariat Nabi Musa seperti
Nabi Harun.[30]
Pernyataan
warga Ahmadi ini tentunya berseberangan dengan yang di pahami oleh para ulama’
karena:
1.
Dalam
surat al Muzammil:16 tersebut persamaan antara Nabi Musa dengan Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi
wasallam adalah dalam pengangkatan
keduanya menjadi Nabi/rasul, karena:
-
Musa
hanya di utus kepada kaum Bani Israil saja sedangkan Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam di
utus kepada seluruh umat manusia [QS al A’raf:158, Saba’:28, al Anbiya’:107].
-
Syariat
yang di bawa oleh Nabi Musa belum sempurna sedangkan syariat Nabi Muhammad
telah sempurna [QS a Ma’idah: 4].
-
Dalam
menjalankan tugasnya Nabi Musa di bantu oleh Nabi Harun sedangkan Nabi Muhammad
tidak di bantu oleh Nabi lain [al A’raf: 143]
2.
Yang
di janjikan oleh Allah kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh [pada QS
An Nur: 55], bukanlah ke-Nabi-an melainkan kekhilafahan. Sekalipun yang di
jadikan khalifah pada kalangan Bani Israil adalah seorang Nabi, sebagaimana
riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ
وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
“Adalah Bani
Israil di perintah oleh Nabi-Nabi, setiap wafat seorang Nabi lantas di ganti
oleh Nabi yang lain, tetapi sesudahku tidak aka nada lagi Nabi”.
Hal
ini tidak berarti yang jadi khalifah pada umat ini adalah seorang Nabi, karena
pada kenyataannya para khulafaurrasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab
dan seterusnya juga tidak menjadi Nabi.
7.
Firman
Alah ta’ala
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى
نَبْعَثَ رَسُولًا [الإسراء/15]
“….dan Kami
tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.
Menurut
Ahmadi, di zaman ini Allah ta’ala sedang dan akan menurunkan azab besar. Di
antaranya adalah Perang Dunia I, II, Perang Korea, Perang Teluk, Perang Vietnam,
Perang Timur Tengah, Perang Balkan, dan berbagai macam bencana alam. Apakah ini
tidak mengandung arti bahwa di zaman ini Allah telah mengutus seorang Nabi-Nya?[31]
Bila kita
perhatikan penjelasan ulama Ahmadi dengan seksama, bisa kita simpulkan bahwa
mereka memiliki pemikiran , “tiap kali Alah menurunkan azab kepada manusia,
baik berupa peperangan, bencana alam atau yang lainnya, maka hal itu adalah
tanda bahwa Allah telah mengutus Rasul yang baru lagi”. Padahal para
mufassir menjel;askan bahwa maksud ayat
tersebut adalah bahwa “orang/kaum yang tidak datang kepadanya
Nabi/Rasul/tidak sampai padanya dakwah [ahlul fatroh] maka orang tersebut tidak
akan di siksa oleh Allah di akherat nanti, ia selamat dengan karunia Allah”.[32]
Dalam
kenyataanya rasulullah telah mengatakan dengan[33]
إن الرسالة
و النبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي و لا نبي
8.
Tentang firman
Alah:
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي
إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ
مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ
[الصف/6]
“Dan
(ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat,
dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)."
Menurut ulama
Ahmadi bahwa dalam ayat ini nama Ahmad dalam arti majaz atau zilli adalah
“bayangan”, yang di peruntukkan bagi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s, karena
beliau memiliki kesamaan dengan Nabi Isa a.s dalam sifat-sifatnya, sedangkan
Nabi Muhammad sahallallahu ’alaihi wasalam memiliki
kesamaan dengan Nabi Musa a.s.[34]
Menurut para mufassir,
pada ayat tersebut sama sekali tidak terdapat nama Mirza Ghulam Ahmad, yang ada
hanyalah nama Ahmad. Dalam Tarikh Madhinatu Damsyiq terdapat riwayat:
أن لي خمسة أسماء : أنا محمد و أنا أحمد و أنا
الماحي الذي يمحو الله بي الكفار و أنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي و أنا
العاقب و العاقب ليس بعده نبي
“Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya
al Mahi yang menghaus kekafiran, saya al Hasyir yang mengumpulkan manusia di
telaak kakiku dan saya al ‘aqib yang tidak ada Nabi setelah saya”[35]
Dalam hadits
ini dijelaskan banwa Nabi Muhammad Shallallhuh’alaihi wasallam memiliki
beberapa nama, diantaranya adalah Ahmad dan ‘Aqib [tidak ada lagi
Nabi setelah beliau], dan juga terlihat dengan jelas bahwa yang di maksud
dengan Ahmad dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad shallallhu’alaihi wasalam dan
bukan Mirza Ghulam Ahmad, karena setelah beliau tidak aka ada Nabi lagi.
9.
Arti khatam pada
kata وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ.
Menurut kaum Ahmadi kata khatam memiliki tiga
makna:
1.
Jika di
idhafahkan/di rangkai dengan dengan kata benda jamak maka artinya adalah:
utama, paling sempurna, paling baik. Maka khatamun Nabiyyin artinya: Nabi
paling baik dari sekalian Nabi.
2.
Dimaknai
cincin [untuk perhiasan] karenanya khatamun Nabiyyin berarti Nabi Muhammad
adalah perhiasannnya para Nabi.
3.
Di maknai
stempel atau cap, sehingga khatamun Nabiyyin berarti bahwa Nabi Muhammad adalah
stempel bagi sekalian Nabi [dengan stempel/pengesahan dari Nabi Muhammad kita
mengetahuui kebenaran semua Nabi].
Sehingga kata
khatam tidak bisa di maknai dengan penutup, seperti yang terlihat dalam riwayat
berikut ini:
اطْمَئِنَّ
يَا عَمِّ ! فَإِنَّكَ خَاتَمُ الْمُهَاجِرِينَ فِي الْهِجْرَةِ ؛ كَمَا أَنِّي خَاتَمُ
النَّبِيِّينَ فِي النُّبُوَّةِ
“Tenteramlah
wahai pamankau [al Abbas] sesungguhnya engkau adalah khatamul Muhajirin dalam
hijrah dan aku adalah khatamun Nabiyyin”.[36]
Pada
kenyatannya Abbas [paman Nabi] bukanlah muhajir yang paling terakhir. Demikian
pula dalam riwayat lain bahwa Nabi bersabda;
أنا
خاتم الأنبياء ، وأنت يا علي خاتم الأولياء
”Aku adalah
khatamul anbiya’ dan engkau wahai Ali, adalah khatamul Auliya’”.[37]
Dalam riwayat
tersebut kata khatamun tidak bisa di maknai dengan penutup, sebagai contoh jika
Ali di katakana sebagai penutup para wali berarti tidak boleh ada wali setelah
Ali ra, sedangkan pada kenyataannya banyak sekali wali yang datang setelah masa
Ali ra.[38]
Menurut
pandangan para ulama’ ahlu sunnah kata dasar “khatam” memang memiliki tiga arti
yaitu cincin, stempel/cap/segel dan penutup/paling akhir. Makna-makna tersebut
akan berubah sesuai dengan rangkaiannya. Bila di rangkai dengan dengan kata
الذهب [emas]
sehingga akan menjadi خاتم الذهب
bermakna cincin emas. Jika di rangkai dengan kata البريد [post], sehingga akan menjadi خاتم
البريد bermakna stempel post, dan jika di rangaki
dengan النبيين
[para Nabi] sehingga menjadi خاتم النبيين maka maknanya adalah penutup para Nabi.
Terlebih lagi
Nabi memperjelas dengan perkataan tambahan, sebagaimana sabdanya:
وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ
كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا
نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya
akan ada dari umatku tiga puluh orang pembohong, mereka mengaku dirinya adalah
Nabi dan sesungguhnya saya adalah penutup Nabi-Nabi dan tidak ada lagi Nabi
setelahku”.[39]
Beliau
memperjelas dengan perkataan لَا نَبِيَّ بَعْدِي
yang berarti tidak akan pernah ada Nabi lagi setelahku. Bila
khatamun Nabiyyin di maknai dengan stempel para Nabi, cincin para Nabi, dan
lainnya berarti pada hakekatnya ia telah melakukan penyimpangan baik dari sisi
makna maupun syariat.
Adapun tentang
Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahamd bin Hambal, Ibnu Asakir yang
kesemuanya menerima riwayat dari jalan Ismail bin Qais maka erlu di ketahui
bahwa hadits tersebut adalah dha’if. Beberapa ulama ahli hadits memberikan
komentar tentang Ismail bin Qais, misalnya:
-
Bukhari dan
Darul Quthni bahwa Ismail bin Qais adalah [ منكر الحديث
] haditsnya di ingkari.
-
Ibnu Adi
berkata [ و عامة ما يرويه منكر ] keumuman
hadits yang di riwayatkan mungkar.
-
Nasa’I
mengatakan bahwa ia [ ضعيف ] lemah.[40]
Adapun hadits tentang Ali bahwa ia adalah خاتم الأولياء penutup para
wali, maka Khatib al Baghdadi memebrikan komentarnya bahwa “hadits ini
adalah palsu dari perbuatan tukang cerita yang di buat oleh Umar bin Wasil,
atau di buat atas namanya”[41]
Demikianlah dan sebenarnya masih ada banyak
lagi ayat atau hadits yang mereka pakai sebagai hujjah atas keabsahan Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Nabi yang perlu di kaji dan dikritisi dengan seksama, wa
Allahu ‘alam.[42]
[1] Di sampaikan pada pertemuan Majlis Tarjih, Tajdid dan pemikiran
Islam, ahad Pon 19 Juni 2011 di PP
Al-Mu’min Muhammadiyah Tembarak Temanggung.
[2] Al Ibad, Syarah hadits Jibril, 1/34
[3] Abdul Muhsin al Abbad, Syarah Sunan Abu Dawud, 25/462
[4] Sunan Tirmidzi 3/364, Shahih ‘ala Syarti Muslim sekalipun
tidak di keluarkan olehnya sebagaimana di nyatakan oleh adz Dzahabi dalam ta’liq-nya.
[5] Bukhari dalam Shahih-nya, 3/86, di sebutkan pula dalam al
Lu’lu’ wa al Marjan Fiima Ittifaq ‘Alaihi al Syaikhan, 1/599.
[6] Di riwayatkan oleh Tabrani 5/203 no: 5095 dari Barra’ dan Zaid,
Diriwayatkan pula oleh at Tayalisy 205, Ahmad 1/179 no: 1547, Bukhari
3/1359 no:3503, Muslim 4/1870 no: 2404, Tirmidzi 5/641 no: 3731, Ibnu Majah 1/42 no: 115 dari
Sa’ad bin Abi Waqash.
Di riwayatkan ula oleh Abu Ya’la 12/310 no: 6883, al Haitsami 9/109,
dari Ummu Salamah.
[7] Di riwayatkan oleh Ahmad 4/154 no: 17441, Tirmidzi 5/619 no: 3686,
Thabarani 17/298 no: 822, Hakim 3/92 no: 4495 ia berkata sanadnya shahih, dan
Ibnu ‘Adiy 3/216.
[8] Di keluarkan oleh al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/140, Ibnu
Asakir dalam Tarikh Madinatu Damsyir 3/21, di riwwayatkan pula oleh
Bukhari dan Muslim.
[9] Shahih Muslim 1/581.
[10] Abu Bakar Ahmad bin Husain bin ‘Ali al Baihaqi, Sunan al Kubra, 2/433,
Muslim 1/371 no: 523, Tirmidzi 4/123 no: 1553 dan di katakana hasan shahih,
Ibnu ‘Awanah 1/330 no: 1169, Abu Ya’la 11/377 no: 6491, Ibnu Hibban 8/67 no:
2313.
[11] Shahih Bukhari 2/270 dan shahih Muslim 2/315.
[12] Riwayat Tirmidzi 8/156, bisa di lihat dalam kutubu tis’ah dalam
musnad Ibnu Jarir Abdilah al Bajali.
[13] Ibnu Abbas, Tanwiru al Miqbas Min Tafsiri Ibni Abbas, hlm
252.
[14] Ibnu Majah dalam Sunannya 4/465.
[15] M Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm 22 Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 1996.
[16] Ibnu Majah 4/464.
[17] Pembahasan mengenai huruf [ َلَو ]
jenis dan kegunaannya telah di uraikan secara anjang lebar oleh Jamaludin bin
Hisyam al Anshari dalam Mughni al Labib 1/205-215.
[18] Silahkan baca Mizanul I’tidal, 1/47,48.
[19] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian, hlm 15 Jemaat Ahmadiyah
Indonesia.
[20] Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al Thabarani, al Mu’jam al Ausath, 1/152.
Lihat pula tafsir Ibnu Katsir , 2/354
[21] Abi Hatim al Razi, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim Musanadan ‘An
Rasulillah wa al Shahat wa al Tabi’in, 4/240.
[22] Lihat pula tafsir Ibnu Katsir , 2/35
[23] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 20 Jemaat Ahmadiyah
Indonesia 1996.
[24] Abdullah Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas Min Tfsiri Ibni Abbas, hlm
48.
[25] Jamaludin
Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzi, Zaadu al Muyassar fi ‘ilmi
Tafsir,hlm 278
[26] Qososul Anbiya’, hlm. 468.
[27] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 18 Jemaat Ahmadiyah
Indonesia 1996.
[28] Abdullah bin Abdul Muhsin al Turkey, Tafsir al Muyassar, hlm.
138
[29] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 20-21 Jemaat
Ahmadiyah Indonesia 1996.
[30] M Ahmad Nurudin, Masalah KeNabian hlm 18-19 Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1996.
[31] M. Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm 20-21, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia 1996
[32] Syekh As Shawy al Maliki,Hasyiyah As Shawy, 2/127.
[33] Sunan Tirmidzi 3/364, Shahih ‘ala Syarti Muslim sekalipun
tidak di keluarkan olehnya sebagaimana di nyatakan oleh adz Dzahabi dalam ta’liq-nya.
[34] M. Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm 41, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia 1996.
[35] Di keluarkan oleh al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/140, Ibnu
Asakir dalam Tarikh Madinatu Damsyir 3/21, di riwayatkan pula oleh
Bukhari dan Muslim.
[36] Di keluarkan oleh Ibnu Asakir 26/296, Ahmad 2/941 no 1812, Thabrani
6/154 no 5828, Abu Ya’la 5/55 no 2646, Abi Hatim 2/386, hadits ini dhaif lihat
Al Bani, dalam silsilah al Hadits adh Dhaifah wal Mudhu’ah wa Atsaruha Sai’ fi al Ummah, 2/136.
[37] Di keluarkan oleh al KHatib 10/356-358, Ibnu Juzi dalam al
Maudhu’at 1/398 dan al Suyuthi 1/379-380, hadits ini dhaif dan bisa di
lihat dalam Albani, silsilah al Hadits adh Dhaifah wal Mudhu’ah wa Atsaruha
Sai’ fi al Ummah, 2/136.
[38] M. Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, hlm25-27, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia 1996.
[39] Riwayat Tirmidzi 8/156, bisa di lihat dalam kutubu tis’ah dalam
musnad Ibnu Jarir Abdilah al Bajali.
[40] Lihat Mizanul I’tidal hlm 244.
[41] , silsilah al Hadits adh Dhaifah wal Mudhu’ah wa Atsaruha Sai’
fi al Ummah, 2/136.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTulisan saudara Agus Efendi ini telah saya jawab dengan tuntas di blog http://nafirizaman.blogspot.com/2014/07/menjawab-agus-efendi.html. Silahkan dibaca dan ditelaah. Jazaakumu-Llaah :)
BalasHapus